Pertama,
bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan
haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari
ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari
haidnya berhenti.
Kedua,
terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang
wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia melihat darah
haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.
Terhadap
dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Namun yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka
ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja
apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan
sama saja apakah waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya
Imam Syafi`i dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Ketiga,
warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan
ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum
suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar masa
haid, cairan tersebut bukan darah haid.
Ummu `Athiyah radliallahu’anha
mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid”.
(HR. Abu Daud. Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya
namun tanpa lafaz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk
hadits ini dengan Bab “Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain
hari-hari haid”.)
Keempat,
keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah
(ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa
haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia
terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid,
sebagaimana keadaan cairan kuning atau keruh.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !